
(Oleh : Sr. Maria Skolastika, P.Karm)
Kukuruyuuukkk! Kokok ayam pertama di pagi itu mengejutkan Melati yang duduk semalaman menjaga adiknya yang sakit. Rupanya tanpa disadari keletihan telah memberatkan matanya sehingga selama beberapa kejap ia pun terlelap. "Kak. haus.," rupanya sang adik pun terbangun oleh jeritan lantang si ayam jantan. Segera Melati mengambilkan segelas air untuk adiknya, dan mengganti kain kompresan di keningnya.
"Tuhan, Kau di mana? Kau sedang apa?" Seraya menarik nafas dalam-dalam mata Melati memandang keluar jendela kamar yang sempit itu. Cercahan sinar mentari perlahan menembus kabut dingin yang telah lama turun menyelubungi desa sederhana tempat Melati tinggal bersama adik satu-satunya yang sedang sakit itu. Sepasang kupu-kupu bermain di antara tanaman bunga, menggoyang dedaunan dan menjatuhkan setetes embun yang bergayut di ujung sehelai daun muda. "Ah Yesus," penuh kerinduan Melati pun mengusap setetes air matanya yang juga terjatuh di wajahnya yang kurus. Setahun yang lalu Bapak ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Beberapa bulan kemudian Ibu meninggal dunia karena tak kuat menanggung sakit dan sedih.
Penderitaan, pencobaan, kekecewaan, kadang melanda hidup bertubi-tubi, seolah tak memberi kesempatan kepada kita untuk sedikit membenahi diri. Kehilangan kasih dari orang yang kita cintai, kehilangan kepercayaan dari orang yang kita hargai, tiada pengampunan dari orang yang kita lukai, semua itu membuat hidup bagai di atas bara api, menghempas diri ke tengah lautan duka yang tak bertepi.
Itulah salib-salib kehidupan, yang mau tak mau dialami oleh setiap orang di dunia ini. Mengeluh tak akan membuat salib itu lebih ringan, justru terasa bertambah berat. Lari meninggalkan salib tak akan menyelesaikan persoalan, justru masalah bertambah lekat. Menyesali kehidupan tak akan menghantar jiwa pada kekudusan, justru dosa di hati bertambah padat.
Gunung Arjuna tampak menjulang megah dengan puncaknya berpayung awan. Kehadirannya menaungi desa kelahiran Melati, bagai seorang ayah gagah perkasa yang selalu siap melindungi anaknya yang kecil dan lemah. "Oh, aku mengerti Tuhan," Melati berbisik dalam hatinya. Salib bukan untuk dikeluhkan, bukan untuk ditinggalkan, bukan untuk disesalkan. Sebaliknya, salib merupakan pegangan yang kuat untuk terus menjalani kehidupan. Bayangannya memberikan kesejukan dalam gersangnya dunia, dan kelurusannya menjamin kita untuk tidak tersesat dalam pengembaraan menuju Rumah Bapa. Dalam sebuah puisinya Santa Teresa Avila mengatakan, "Barangsiapa melarikan diri dari salib adalah seorang tahanan dan musuh kemerdekaan. Barangsiapa berlindung pada salib tak pernah akan sesat di jalan. Kekuasaan agung yang memberi kebahagiaan, yang tidak dapat menjadi tempat kejahatan. Selamat datang, hai Salib!"
Setiap orang di muka bumi ini mempunyai masalah. Jika kita lari dari masalah, masalah itulah yang akan mengejar-ngejar kita. Kita akan menjadi gelisah dibayang-bayangi dan dihantui oleh masalah yang belum selesai tersebut. Kita tidak akan menjadi bebas, tetapi bahkan menjadi tawanan dari masalah itu.
Mengeluh juga bukan jalan keluar yang baik, karena keluhan kita tak akan memecahkan persoalan. Sebaliknya setiap keluhan membuat hati bertambah penat, sehingga tanpa disadari kita membuat beban-beban kehidupan sendiri. Lebih-lebih jika kita menyesali kehidupan ini, berarti kita mulai menumbuhkan benih-benih pemberontakan terhadap kehendak Bapa surgawi. Sungguh berlawanan sekali dengan Yesus yang taat, bahkan taat sampai wafat di kayu salib.
Segala persoalan dan penderitaan yang tak dapat kita hindari memanglah sesuatu yang harus kita hadapi. Jangan lari dari itu semua, tetapi pandanglah sebagai salib kehidupan yang harus kita pikul. Peluklah dan peganglah salib itu erat-erat karena dengan demikian kita justru akan menemukan kedamaian dan kekuatan sekali pun di tengah badai yang paling dahsyat. Mengenai hal ini Santa Teresa dari Avila berkata, "Dengan jelas saya lihat bahwa semua manusia adalah laksana setangkai jerami. Barangsiapa mau bergantung kepadanya, tidaklah punya sandaran, sebab kalau mendapat tantangan sedikit saja atau kritik, tangkai itu akan patah. Begitulah saya mengalami, bahwa sandaran yang sejati supaya tidak jatuh ialah memegang salib erat-erat, dan percaya kepada Dia yang telah bergantung padanya. Dialah sahabat yang sejati, yang karenanya saya merasa dipersenjatai dengan kekuatan yang begitu besar, sehingga saya kira saya dapat menghadapi seluruh dunia andaikata ia bangkit melawan aku, asal saja Tuhan tidak meninggalkan aku."
Salib melepaskan kita dari banyak hal. Ketika uang yang telah kita kumpulkan selama bertahun-tahun tiba-tiba hilang dicuri orang, kita dibebaskan dari kelekatan terhadap uang kita. Ketika suatu peristiwa menjatuhkan nama baik dan membuat kita menjadi malu, kita dibebaskan dari kelekatan terhadap nama baik dan harga diri. Ketika fitnah seseorang tiba-tiba menerjang perjalanan karir kita dan memporak-porandakannya, kita dibebaskan dari kelekatan terhadap haus kuasa dan jabatan. Semua itu mengajak hati kita untuk lepas bebas dari segala sesuatu yang duniawi, dan terarah kepada Tuhan saja. "Oh Yesus, akhirnya Engkau tidak lagi memiliki sesuatu pun selain sebuah salib, tempat Engkau wafat dengan cara yang paling menyedihkan," doa Santa Teresa Avila pada suatu hari.
"Cepat bayar hutangmu, anak kurus!" Terngiang di telinga Melati makian tetangganya yang menagih hutang karena ia harus membeli obat untuk adiknya. Wajahnya yang berkerut-kerut membuat hati Melati semakin menciut. Sudah lama adiknya sakit, belum sembuh-sembuh juga. Apa yang harus dijualnya untuk membayar hutang? Melati berpikir keras sambil memandang seisi rumah kecilnya yang nyaris kosong. "Oh Yesus, aku tak punya apa-apa lagi, aku tak punya siapa-siapa lagi. Yang kumiliki kini hanyalah salib kehidupan..., yang kumiliki kini hanyalah Engkau..."
Betapa indahnya ketika kita dapat berseru, "Oh Yesus, yang kumiliki kini hanyalah Engkau..." Kedamaian dan kehangatan memenuhi ruang hati Melati. Tak sadar matanya terpejam, dan terbayanglah peristiwa duaribu tahun yang lalu.
Bergantunglah di atas kayu salib sesosok tubuh yang nyaris tak berbentuk. Ketampanan tak ada pada-Nya, apalagi kekayaan. Tubuh-Nya tak terbalut kain indah tetapi dihias oleh merahnya darah. Bukan jalinan batu baiduri melingkar di kepala-Nya melainkan mahkota duri. Sementara di sekeliling-Nya bukanlah orang-orang yang memandang kagum dan sayang melainkan mereka yang tak hentinya mengejek dan mencemooh penuh kebencian. Apakah yang dimiliki-Nya saat itu? Ia tak memiliki siapa-siapa lagi, Ia tak memiliki apa-apa lagi, selain salib tempat Ia bergantung.
Dan sungguh suatu rahmat tak terkatakan bila Yesus mengundang kita untuk memasuki pengalaman ini, mencicipi sedikit saja dari apa yang pernah dialami-Nya. Salib adalah sebuah rahmat, suatu tanda cinta Tuhan kepada kita. Lewat saliblah Yesus mempersatukan kita dengan Diri-Nya. Kita diajak untuk lepas bebas dari segala yang duniawi, dan melekat kepada Yesus saja.
"Dan pada hari ketiga Yesus bangkit dari mati!" seru Melati dalam hati. Semua orang di seluruh dunia, di segala zaman, mengalami keselamatan karena kebangkitan Yesus dari mati. Sengsara dan wafat Yesus telah menebus dan menyelamatkan umat manusia.
Saat ini, kita juga dipanggil untuk mempersatukan salib-salib kecil dalam kehidupan kita dengan salib Kristus. Karya keselamatan Allah masih terus berlangsung hingga saat ini. Jika kita mempersatukan setiap salib kita dengan salib Kristus, maka hidup kita pun dapat menjadi berkat bagi orang lain. Segala kurban-kurban kecil dan sederhana, kalau kita persembahkan dengan penuh cintakasih kepada Kristus akan memberikan nilai yang besar dan berarti bagi sesama. Semua itu akan membantu melahirkan semakin banyak orang bagi Kerajaan Allah.
"Hidupku untuk keabadian, ya Yesus," desah Melati lembut. Dipandangnya mesra salib sederhana yang bergantung di dinding rumahnya. "Aku ingin bergantung bersama-Mu, tersalib bersama-Mu, bersatu dengan-Mu. Semoga setiap penderitaanku di dunia ini, dapat menghantar jiwa-jiwa kepada-Mu."
Apabila engkau sedang menderita dan merasa sedih
Cobalah renungkan Mempelaimu yang sedang dalam perjalanan ke Taman Getsemani
Aduh, betapa sedihnya jiwa-Nya pada saat itu
Atau renungkan Dia sedang memikul salib-Nya,
tak diberi kesempatan untuk menarik nafas.
Ia akan menatapmu dengan mata-Nya yang indah
Penuh belas kasihan tergenang air mata
Ia melupakan kesedihan-Nya sendiri
Untuk menghiburmu dalam kesedihanmu
Dan itu dilakukan-Nya hanya karena engkau mencari hiburan pada-Nya
Mengangkat mukamu kepada Dia
Guna menatap Dia
(St. Teresa Avila)
Sharing :
* Bagaimana Anda memandang salib dalam kehidupan Anda setiap hari? Sharingkanlah hal tersebut dengan teman-teman dalam sel
* Seberapa sering Anda mengeluh jika harus memanggul salib kehidupan Anda? Bagaimana pula pengalaman Anda untuk berjuang mengatasi salib tersebut? Sharingkanlah pengalaman tersebut
Bagi yang ingin mengutip/menyebarkan artikel ini, harap tetap mencantumkan sumbernya. Terima kasih.
Sumber:
Majalah Rohani Vacare Deo (Media Pengajaran Komunitas Tritunggal Mahakudus)
www.holytrinitycarmel.com
No comments:
Post a Comment